1. Pengertian Bank Syariah
Bank syariah adalah
bank yang melaksanakan kegiatan perbankannya berdasarkan hukum islam (prinsip
syariah), bank ini juga biasa disebut sebagai bank tanpa bunga karena bank ini
menghimpun dana dari masyarakat dengan tidak memberikan imbalan bunga tidak
juga memberikan pinjaman dengan bunga.
Sistem yang dianut
bank ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun
meminjamkan dengan bunga, atau dalam islam dikenal dengan istilah riba, islam
juga melarang adanya investasi pada usaha yang masuk dalam kategori haram,
contohnya usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram atau
pun usaha-usaha lain yang tidak islami.
Bank syariah muncul
karena di latar belakangi atas kesadaran umat muslim yang ingin menjalankan
aktivitasnya sesuai dengan ajaran agama islam, dan juga karena umat muslim
membutuhkan perbankan bebas bunga, pembiayaan kegiatan usaha riil, dan juga
bank yang tidak bersifat spekulasi. atas berbagai alasan tersebutlah hingga
dimunculkannya bank syariah di tengah-tengah kita seperti saat ini. Untuk
melaksanakan usaha-usaha perbankannya bank syariah menggunakan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
- Prinsip murabahah
Murabahah ialah
penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang di
butuhkan oleh pengguna jasa, kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa
dengan harga yang dinaikkan sesuai dengan dengan keuntungan yang ditetapkan
oleh bank, dengan bantuan pengguna jasa tersebut dapat mengansur harga barang
yang telah ditetapkan tersebut.
- Prinsip musharakah
Musharakah adalah
pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal, dimana bank dan nasabah
menjadi mitra usaha yang masing-masing menyumbang modal dan menyepakati rasio
laba di muka untuk waktu yang telah ditentukan.
- Prinsip mudharabah
Mudharabah yaitu
perjanjian antara penyedia modal dengan nasabah. Dimana setiap keuntungan yang
diperoleh akan dibagi sesuai dengan kesepakatan. Dengan catatan resiko kerugian
ditanggung oleh pihak bank, selama tidak terdapat bukti bahwa nasabah telah
melakukan kecurangan atau tindakan lain yang tidak sesuai dengan kepercayaan
yang telah diberikan oleh bank. Prinsip mudarabah ini telah dikenal sejak zaman
Rasulullah SAW, bahkan dikenal sejak zaman jahiliyah . Rasulullah SAW pernah
melakukan mudharabah dengan Khadijah, yaitu dengan modal dari Khadijah
Rasulullah SAW pergi ke Syam dengan membawa modal tersebut untuk berdagang.
Peristiwa ini terjadi sebelum Rasulullah SAW diangkat menjadi rasul.
Hikmah yang dapat
kita peroleh dari mudharabah ialah dalam kehidupan di masyarakat luas terkadang
di jumpai orang-orang yang memiliki banyak modal tetapi tidak memiliki
kemampuan untuk mengembangkan modal yang ia miliki tersebut, sedangkan di pihak
lain banyak orang yang memiliki kemampuan mengembangkan modal tetapi tidak
memilikinya. Sehingga dengan adanya prinsip mudharabah yang dianut oleh bank
syariah dapat memberi kemudahan kepada orang yang ingin melakukan usaha untuk
mendapatkan modal tetapi dengan aturan-aturan tertentu yang telah ditentukan
oleh pihak bank.
- Prinsip ijarah
Prinsip ijarah adalah
pembiayaan barang modal yang dilakukan oleh bank, berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan atau dengan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa
dari pihak bank oleh pihak lain atau yang dikenal dengan istilah ijarah
wa iqtina.
- Prinsip wadiah
Prinsip wadiah yaitu
jasa penitipan dana (tabungan) yang dimana sang penitip boleh mengambil dana
yang dititip tersebut sewaktu-waktu ketika ia memerlukannya.
2.
Pembiayaan
Bank Syariah
Pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu
pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang
merupakan defisit unit.
Menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagai
menjadi:
a. Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha
produksi, perdagangan, maupun investasi.
b. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi, yang akan habis diguna-kan untuk dipakai memenuhi
kebutuhan.
Menurut
keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi:
a.
Pembiayaan modal kerja, yaitu
pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan (1) peningkatan produksi, baik secara
kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu
peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (2) untuk keperluan
perdagangan atau peningkatan utility of place dari suatu barang.
b.
Pembiayaan investasi, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan barang-barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas
yang erat kaitannya dengan itu.
3. Pembiayaan Modal Kerja
Unsur-unsur modal
kerja terdiri dari komponen-komponen alat likuid (cash), piutang dagang
(receivable), dan persediaan (inventory) yang umumnya terdiri dari persediaan
bahan baku (raw material), persediaan barang dalam proses (work in process),
dan persediaan barang jadi (finished goods). Oleh karena itu, pem-biayaan modal
kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas (cash
financing), pembiayaan piutang (receivable financing), dan pembiayaan
persediaan (inventory financing).
Bank konvensional
memberikan kredit modal kerja tersebut, dengan cara memberikan pinjaman
sejumlah uang yang dibutuhkan untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan
kombinasi dari komponen-komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan
produksi maupun perdagangan untuk jangka waktu tertentu, dengan imbalan berupa
bunga. Bank syariah dapat membantu memenuhi seluruh kebutuhan modal kerja
tersebut, bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan
partnership dengan nasabah, di mana bank bertindak sebagai penyandang dana
(shahibul maal), sedang-kan nasabah sebagai pengusaha (mudharib). Skema
pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharanah (trust financing). Fasilitas
ini dapat diberikan untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi
secara periodik dengan nisbah yang disepakati. Setelah jatuh tempo, nasabah
mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil (yang belum
dibagikan) yang menjadi bagian bank.
a. Pembiayaan Likuiditas (Cash Financing)
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada per-usahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada per-usahaan nasabah. Fasilitas yang biasanya diberikan oleh bank konvensional adalah fasilitas cerukan (overdraft facilities) atau yang biasa disebut kredit rekening koran. Atas pemberian fasilitas ini bank memperoleh imbalan manfaat berupa bunga atas jumlah rata-rata pemakaian dana yang disediakan dalam fasilitas tersebut.
Bank syariah dapat
menyediakan fasilitas semacam itu dalam bentuk qardh timbal balik atau yang
disebut compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah harus membuka
rekening giro, dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah
mangalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang
tersedia sehingga menjadi negatif sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam
akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun,
kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
b. Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang men-jual barangnya dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa:
Kebutuhan pembiayaan ini timbul pada perusahaan yang men-jual barangnya dengan kredit, tetapi baik jumlah maupun jangka waktunya melebihi kapasitas modal kerja yang dimilikinya. Bank konvensional biasanya memberikan fasilitas berupa:
·
Pembiayaan Piutang (Receivable Financing)
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah ber-kewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Tetapi, bila bank merasa perlu, dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama diguna-kan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya, dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank.
Bank memberikan pinjaman dana kepada nasabah untuk mengatasi kekurangan dana karena masih tertanam dalam piutang. Atas pinjaman itu bank meminta cessie atas tagihan nasabah tersebut. Pada dasarnya nasabah ber-kewajiban untuk menagih sendiri piutangnya. Tetapi, bila bank merasa perlu, dengan menggunakan cessie tersebut bank berhak untuk menagih langsung kepada pihak yang berhutang. Hasil penagihan tersebut pertama-tama diguna-kan untuk membayar kembali pinjaman nasabah berikut bunganya, dan selebihnya dikreditkan ke rekening nasabah. Bila ternyata piutang tersebut tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kembali pinjaman tersebut berikut bunganya kepada bank.
·
Anjak Piutang (Factoring)
Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk peng-ambilalihan piutang nasabah. Untuk keperluan tersebut nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh pihak yang berhutang, atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berhutang, kemudian di-endors oleh nasabah. Draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempo draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.
Fasilitas ini diberikan oleh bank dalam bentuk peng-ambilalihan piutang nasabah. Untuk keperluan tersebut nasabah mengeluarkan draf (wesel tagih) yang diaksep oleh pihak yang berhutang, atau promissory notes (promes) yang diterbitkan oleh pihak yang berhutang, kemudian di-endors oleh nasabah. Draf atau promes tersebut lalu dibeli oleh bank dengan diskon sebesar tingkat bunga yang berlaku atau disepakati untuk jangka waktu yang tertera pada draf atau promes tersebut. Bila pada saat jatuh tempo draf atau promes tersebut ternyata tidak tertagih, maka nasabah wajib membayar kepada bank sebesar nilai nominal draf tersebut.
Bagi bank syariah,
untuk kasus pembiayaan piutang se-perti tersebut di atas hanya dapat dilakukan
dalam bentuk al qardh di mana bank tidak boleh meminta imbalan, kecuali biaya
administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas
pengambil-alihah piutang, yaitu yang disebut hiwalah. Tetapi untuk fasilitas
ini pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya
administrasi dan biaya penagihan. Dengan demikian, bank syariah meminjamkan
uang (qardh) sebesar piutang yang tertera dalam dokumen piutang (wesel tagih
atau promes) yang diserahkan kepada bank – tanpa potongan. Hal itu adalah bila
ternyata pada saat jatuh tempo hasil tagihan itu digunakan untuk melunasi
hutang nasabah kepada bank. Tetapi bila ternyata piutang tersebut tidak
ditagih, maka nasabah harus membayar kembali hutangnya itu kepada bank. Selain
itu, sebagian ulama memberikan jalan keluar berupa pembelian surat hutang (bai’
al dayn), tetapi sebagian ulama melarangnya .
c. Pembiayaan Persediaan (Inventory Financing)
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainnya, yaitu memberikan pinjaman dengan bunga.
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunakan untuk mendanai pengadaan persediaan (inventory financing). Pola pembiayaan ini pada prinsipnya sama dengan kredit untuk mendanai komponen modal kerja lainnya, yaitu memberikan pinjaman dengan bunga.
Bank syariah
mempunyai mekanisme tersendiri untuk me-menuhi kebutuhan pendanaan persediaan
tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual-beli (al bai’)
dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari suplier secara
tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual
kepada nasabah pembeli dengan pembayaran tangguh dan dengan mengambil
keun-tungan yang disepakati bersama, antara bank dengan nasabah. Ada beberapa
skema jual-beli yang dipergunakan untuk meng-approach kebutuhan tersebut yaitu:
·
Bai’ al Murabahah
Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri dari biaya pengadaan bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan menjadi barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Bila barang jadi itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang, dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Pembiayaan persediaan dalam usaha produksi terdiri dari biaya pengadaan bahan baku dan penolong. Melalui proses produksi, bahan baku tersebut akan menjadi barang setengah jadi, kemudian menjadi barang jadi yang siap untuk dijual. Bila barang jadi itu dijual dengan kredit, ia berubah menjadi piutang, dan melalui proses collection akan berubah menjadi kas kembali.
Pembiayaan ini juga
dapat diberikan kepada nasabah yang hanya membutuhkan dana untuk pengadaan
bahan baku dan bahan penolong. Sementara itu, biaya proses produksi dan
penjualan, seperti upah tenaga kerja, biaya pengepakan, biaya distribusi, serta
biaya-biaya lainnya dapat ditutup dalam jangka waktu sesuai dengan lamanya
perputaran modal kerja tersebut, yaitu dari pengadaan persediaan bahan baku,
sampai terjualnya hasil produksi, dan hasil penjualan diterima dalam bentuk tunai
(cash).
·
Bai’ al Istishna’
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk pro-ses produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al istishna’. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya pro-duksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Bila nasabah juga membutuhkan pembiayaan untuk pro-ses produksi sampai menghasilkan barang jadi, bank dapat memberikan fasilitas bai’ al istishna’. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang dengan harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya pro-duksi ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap proses produksi. Setiap selesai satu tahap, bank meneliti spesifikasi dan kualitas work in process tersebut, kemudian melakukan pembayaran untuk proses tahap berikutnya, sampai tahap akhir dari proses produksi tersebut hingga berupa bahan jadi. Dengan demikian, kewajiban dan tanggung jawab pengusaha adalah keberhasilan proses produksi tersebut sampai menghasilkan barang jadi sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah diperjanjikan. Bila produksi gagal, pengusaha berkewajiban menggantinya, apakah dengan cara memproduksi lagi ataupun dengan cara membeli dari pihak lain.
Setelah barang
selesai, maka produk tersebut statusnya menjadi milik bank. Tentu saja bank
tidak bermaksud membeli barang itu untuk dimiliki, melainkan untuk segera
dijual kembali dengan mengambil keuntungan. Pada saat yang kurang lebih bersamaan
dengan proses pemberian fasilitas bai’ al istishna’ tersebut, bank juga te-lah
mencari potential purchaser dari produk yang dipesan oleh bank tersebut. Dalam
praktiknya, potential buyer tersebut telah diperoleh nasabah. Kombinasi
pembelian dari nasabah produsen dan penjualan kepada pihak pem-beli itu
menghasilkan skema pembiayaan berupa istishna’ paralel atau istishna’wal
murabahah, dan bila hasil produksi tersebut disewakan, skemanya menjadi
istishna’ wal ijarah. Bank memperoleh keuntungan dari selisih harga beli
(istishna’) dengan harga jual (murabahah atau dari hasil sewa (ijarah).
·
Bai’ as Salam
Untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti, seperti produksi pertanian, bank dapat memberikan fasili-tas bai’ al salam. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus, dan nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan bank dapat mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi ini disebut salam paralel.
Untuk produksi yang prosesnya tidak dapat diikuti, seperti produksi pertanian, bank dapat memberikan fasili-tas bai’ al salam. Melalui fasilitas ini bank melakukan pemesanan barang kepada nasabah dengan pembayaran di muka secara sekaligus, dan nasabah berkewajiban men-deliver barang tersebut pada tanggal yang disepakati dalam kontrak. Pada waktu yang bersamaan bank dapat mencari pembeli atas produk tersebut. Kombinasi ini disebut salam paralel.
Bila produksi itu
dilakukan secara terus-menerus dan perputaran modal kerja tersebut telah
sedemikian secepatnya sehingga nasabah memerlukan pembiayaan modal kerja secara
evergreen, maka skema pembiayaan yang paling tepat adalah al mudharabah.
d. Pembiayaan Modal Kerja untuk Perdagangan
·
Perdagangan Umum
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Pada umumnya perputaran modal kerja (working capital turnover) perdagangan semacam ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup, karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling tepat adalah skema mudharabah.
Perdagangan umum adalah perdagangan yang dilaku-kan dengan target pembeli siapa saja yang datang membeli barang-barang yang telah disediakan di tempat penjual, baik pedagang eceran (retailer) maupun pedagang besar (whole seller). Pada umumnya perputaran modal kerja (working capital turnover) perdagangan semacam ini sangat tinggi, tetapi pedagang harus mempertahankan sejumlah persediaan yang cukup, karena barang-barang yang dijual itu sebatas jumlah persediaan yang ada atau telah dikuasai penjual. Untuk pembiayaan modal kerja perdagangan jenis ini skema yang paling tepat adalah skema mudharabah.
·
Perdagangan Berdasarkan Pesanan
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diselesai-kan di tempat penjual, yaitu seperti perdagangan antarkota, perdagangan antarpulau, atau perdagangan antarnegara. Pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesanan, atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran atau pemesanan.
Perdagangan ini biasanya tidak dilakukan atau diselesai-kan di tempat penjual, yaitu seperti perdagangan antarkota, perdagangan antarpulau, atau perdagangan antarnegara. Pembeli terlebih dulu memesan barang-barang yang dibutuhkan kepada penjual berdasarkan contoh barang atau daftar barang serta harga yang ditawarkan. Biasanya pembeli hanya akan membayar apabila barang-barang yang dipesan telah diterimanya. Hal ini untuk menghindari kemungkinan risiko akibat ketidakmampuan penjual memenuhi pesanan, atau ketidaksesuaian jumlah dan kualitas barang yang dikirimkan dengan spesifikasi yang dimaksud dalam surat penawaran atau pemesanan.
Berdasarkan pesanan
itu penjual lalu mengumpulkan barang-barang yang diminta, dengan cara membeli
atau memesan, baik dari produsen maupun dari pedagang lainnya. Setelah
terkumpul, barulah dikirimkan kepada pembeli sesuai pesanan. Apabila barang
telah dikirim, maka penjual juga menghadapi kemungkinan risiko tidak dibayarnya
barang yang dikirimnya itu. Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi kedua
belah pihak, bank konvensional telah memberikan jalan keluarnya, yaitu
fasilitas letter of credit (L/C). Bank syariah telah dapat mengadopsi mekanisme
L/C itu dengan meng-gunakan skema al wakalah, al musyarakah, al mudha-rabah,
ataupun al murabahah. Dalam hal al wakalah, bank syariah hanya memperoleh
pendapatan berupa fee atas jasa yang diberikannya.
4. Pembiayaan Investasi
Pembiayaan investasi
diberikan kepada para nasabah untuk keperluan investasi, yaitu keperluan
penambahan modal guna mengadakan rehabilitasi, perluasan usaha, ataupun pendirian
proyek baru.
Ciri-ciri pembiayaan
investasi adalah:
1. Untuk pengadaan barang-barang modal;
2. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3. Berjangka waktu menengah dan panjang
1. Untuk pengadaan barang-barang modal;
2. Mempunyai perencanaan alokasi dana yang matang dan terarah;
3. Berjangka waktu menengah dan panjang
Pada umumnya,
pembiayaan investasi diberikan dalam jumlah besar dan pengendapannya cukup
lama. Oleh karena itu, perlu disusun proyeksi arus kas (projected cash flow)
yang mencakup semua komponen biaya dan pendapatan sehinga akan dapat diketahui
berapa dana yang tersedia setelah semua kewajiban terpenuhi. Kemudian, barulah
disusun jadwal amortisasi yang merupakan angsuran (pembayaran kembali)
pembiayaan.
Penyusunan proyeksi
arus kas ini harus disertai pula dengan perkiraan keadaan-keadaan pada masa
yang akan datang, me-ngingat pembiayaan investasi memerlukan waktu yang cukup
panjang. Untuk memperkirakannya perlu diadakan perhitungan dan penyusunan
proyeksi neraca dan rugi laba (projected balance sheet and projected income
statement) selama jangka waktu pem-biayaan. Dari perkiraan itu akan diketahui
kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba (earning power) dan kemampuan
per-usahaan untuk memenuhi kewajibannya (solvency). Melihat luasnya aspek yang
harus dikelola dan dipantau, maka untuk pembiayaan investasi bank syariah
menggunakan skema musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan
pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan
penyertaannya, dan pemilik perusahaan akan mengam-bil alih kembali, baik dengan
menggunakan surplus cash flow yang tercipta maupun dengan menambah modal, baik
yang berasal dari setoran pemegang saham yang ada ataupun dengan mengundang
pemegang saham baru.
Skema lain yang
dapat digunakan oleh bank syariah adalah al ijarah al muntahia bittamlik, yaitu
menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan pemilikan. Sumber
perusahaan untuk pembayaran sewa ini adalah amortisasi atas barang modal yang
bersangkutan, surplus, dan sumber-sumber lain yang dapat diper-oleh perusahaan.
5. Pembiayaan Konsumtif
Pembiayaan konsumtif
diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis
dipakai untuk me-menuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan
atas kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder. Kebutuhan
primer adalah kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman,
pakaian, dan tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan
pengobatan. Sedangkan kebutuhan sekunder adalah kebutuhan tambahan, yang secara
kuan-titatif maupun kualitatif lebih tingi atau lebih mewah dari kebutuhan
primer, baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/ perhiasan,
bangunan rumah, kendaraan, dan sebagainya, maupun berupa jasa seperti
pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan, dan sebagainya.
Pada umumnya, bank
konvensional membatasi pemberian kredit untuk pemenuhan barang tertentu yang
dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah, seperti rumah dan kendaraan
bermotor, yang kemudian menjadi barang jaminan utama (main collateral).
Sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan jasa, bank meminta jaminan berupa barang
lain yang dapat diikat sebagai collateral. Sumber pembayaran kembali atas
pembiayaan tersebut berasal dari sumber pendapatan lain, dan bukan dari
eksploitasi barang yang dibiayai dari fasilitas ini.
Bank syariah dapat
menyediakan pembiayaan komersil untuk pemenuhan kebutuhan barang konsumsi
dengan menggunakan skema:
1. Al bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual-beli dengan angsuran
2. Al ijarah al muntahia bit tamlik atau sewa beli
3. Al musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, di mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipa-sinya
4. Ar Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
1. Al bai’ bi tsaman ajil (salah satu bentuk murabahah) atau jual-beli dengan angsuran
2. Al ijarah al muntahia bit tamlik atau sewa beli
3. Al musyarakah mutanaqhishah atau descreasing participation, di mana secara bertahap bank menurunkan jumlah partisipa-sinya
4. Ar Rahn untuk memenuhi kebutuhan jasa.
Pembiayaan konsumsi
tersebut di atas lazim digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sekunder. Sedangkan
kebutuhan primer pada umumnya tidak dapat dipenuhi dengan pembiayaan komersil.
Seseorang yang belum mampu memenuhi kebutuhan pokoknya tergolong fakir atau
miskin, dan oleh karena itu ia wajib diberikan zakat atau shadaqah, atau
maksimal diberikan pinjaman kebajikan (al qardh al hasan), yaitu pinjaman
dengan kewajiban pengembalian pinjaman pokoknya saja, tanpa imbalan apa pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar