R : Pergilah kalau mau pergi,
sepertinya dia benar-benar membutuhkanmu.
F
: Enggak ahh aku kan lagi pergi sama kamu.
R
: Aku gapapa kok, yukk anterin aku pulang dulu.
F
: Ngomong apa sih? enggak ahh orang belum makan juga kok pulang.
R
: Yukk buruan mumpung belum malam banget..
F
: Tapi Re....
R
: Yukk pulang, mumpung masih sampai parkiran belum masuk ke dalam. Aku
gapapa.
F
: Bohong.
R
: Beneran aku gapapa.
F
: Dari matamu aku pun tau kamu kenapa-kenapa Re, gak perlu bohong. Aku gak akan
kemana-mana. Aku disini sama kamu.
R : Aku gak mau jalan sama orang
yang raganya disini tapi pikirannya telah menyeberangi lautan dan hatinya cemas
tak karuan. Gak perlu bilang “aku gak cemas kok” apa “pikiranku
disini kok”. Karena beberapa menit yang lalu aku tau dari sorot matamu bahwa
kamu sudah tak disini.
F
: Re..
R
: Apa kamu yakin kalau aku bilang jangan pergi kamu gak bakal kesana? Sekarang
atau nanti ketika kita sudah pulang kamu pasti akan segera kesana kan? Jadi apa
bedanya sekarang sama nanti?
Pergilah,
aku tak mau membebanimu dengan kata-kata jangan pergi. Karena aku tak punya hak
seperti itu. Pergilah dia membutuhkanmu.
Kemudian
kamu memelukku, “maafkan aku Re,,”. Aku hanya menganggukkan
kepala di dalam pelukannya. “Pergilah, dia membutuhkanmu”.
Kamu benar Fa, aku
kenapa-kenapa. Hatiku pedih melihat raut wajahmu yang tiba-tiba berubah cemas
ketika menerima telepon darinya, wanita yang pernah kau cintai sepenuhnya. Dia
bilang dia sakit dan dia membutuhkanmu. Namun hatiku lebih tersayat lagi menyadari
bahwa dia masih menjadi duniamu. Bukan aku. Aku masih belum sanggup mengalihkan
duniamu.
“Hati-hati yaa,, nanti kalau
sudah hubungi aku.” ucapku
ketika baru saja sampai rumah. Aku masuk gerbang dan dia berlalu. Air mataku
jebol. Aku terisak. Meski nyeri luar biasa, aku tetap tak bisa menghentikannya.
Aku masih bukan siapa-siapanya.
Jogja | 24 Juni 2015
Fiksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar